EK alias Eming dan HK alias Herry (Ayah dan anak) Diduga Salah Satu Dalang Perusakan Hutan HPT di Ratatotok Mitra, Mafia Tambang Ilegal Diduga Setor ke Oknum Pejabat

Ratatotok, Minahasa Tenggara, Edisisatu.com — Skandal besar mencuat di wilayah Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara tepatnya di Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang selama ini menjadi paru-paru alam dan kawasan lindung kini hancur akibat aktivitas tambang emas ilegal (PETI).

Dua nama yang sering di sebut – sebut kini mencuat ke publik, EK alias Eming dan HK alias Herry, yang diduga kuat  salah satu dari sebagian oknum pelaku pengrusakan hutan HPT di Ratatotok.

Saat gabungan media investigasi lintas Sulut mendatangi ke 2 (dua) orang tersebut di rumahnya yang saling  berdekatan itu dengan maksud dan tujuan untuk konfirmasi terkait aktifitas tambang emas yang di duga tanpa izin resmi (PETI) di hutan HPT. EK.alias Eming dan HK alias Herry (Ayah dan Anak)  penjaga rumah selalu mengatakan  “Ya nda ada BOSS, ada kaluar,” (dialeg khas Sulawesi Utara) padahal sebelum  kami (awak media ) masuk, terlihat di muka rumah ada banyak orang yang lagi duduk – duduk santai di teras rumah Eming dan Herry.

Namun suasana berubah ketika kami menghampiri rumahnya Eming dan Herry, satu persatu orang – orang yang tadinya santai di teras  perlahan masuk dan langsung  tutup pintu.

Mirisnya lagi sudah 4 (empat) kali kedatangan kami awak media dengan maksud yang sama hanya untuk mengkonfirmasi namun selalu disambut dengan nada yang sama juga, “Ya nda ada BOSS, ada kaluar,,’ ucap penjaga rumah yang di ketahui juga salah satu anak dari EK alias Eming.

Sementara dari Informasi pantauan masyarakat dan pemerhati lingkungan, sejumlah alat berat dibiarkan bebas keluar masuk kawasan hutan produksi terbatas melakukan aktifitas PETI yang dilakukan secara terbuka bahkan beroperasi siang dan malam hari tanpa pengawasan aparat penegak hukum (APH) setempat.

Ironisnya,  APH dan Dinas  Lingkungan Hidup (DLH) Sulawesi Utara terkesan hanya diam dan menutup mata, seolah aktivitas ilegal tersebut mendapatkan restu.

Sementara informasi yang kami terima dari salah satu narasumber terpercaya yang tak mau namanya di ekspos, mengatakan bahwa ada dugaan kuat aliran dana setoran atau upeti dari para pelaku tambang kepada oknum pejabat dan APH agar aktivitas tambang emas ilegal berjalan lancar tanpa hambatan hukum.

hal tersebut memicu masyarakat setempat dengan dugaan telah terjadi praktik “jual beli hukum” antara oknum pelaku PETI dan oknum APH sehingga membuat nama baik APH dan Pemerintah Sulawesi Utara tercoreng.

“Hutan HPT sudah rusak total. Tanah di gali terus menerus meninggalkan kubangan – kobangan, pohon-pohon di tebang, tanah menjadi gersang dan polusi di mana mana saat musim panas, air dulunya bersih berganti lumpur yang dicemari bahan kimia  (sianida) gunung – gunung  menjadi tandus yang mengakibatkan erosi di musim penghujan. Untuk itu Kami meminta agar Mabes Polri dan Menteri Lingkungan Hidup turun langsung ke Ratatotok menindak tegas para pelaku PETI dan oknum pejabat serta oknum APH yang terlibat,” ungkap Narsum dari salah satu warga setempat.

Aktivitas tambang emas ilegal di kawasan HPT jelas melanggar sejumlah peraturan dan UU.

Antara lain:
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b, yang melarang setiap orang menebang atau mengambil hasil hutan tanpa izin dari pejabat berwenang.
Pelanggar dapat dijerat dengan Pasal 78 ayat (2), dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda hingga Rp 5 miliar.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Pasal 98 ayat (1):
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun, serta denda antara Rp 3 miliar sampai Rp 10 miliar.”

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba),
Pasal 158 menyebutkan:
“Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.”

Dengan demikian, apa yang terjadi di Ratatotok merupakan pelanggaran berat terhadap hukum lingkungan dan kehutanan nasional, serta menjadi bukti nyata lemahnya pengawasan aparat di lapangan.

Sehingga mengakibatkan aktivitas ilegal tersebut, kondisi  ekosistem alam Ratatotok kini semakin memprihatinkan. Masyarakat khawatir, dalam waktu dekat wilayah itu akan menghadapi bencana ekologis seperti banjir bandang dan tanah longsor.

“Kami tidak butuh janji. Kami butuh tindakan nyata dari pemerintah pusat. Jangan biarkan mafia tambang terus merajalela menghancurkan ekosistem hutan Ratatotok,” lanjut warga setempat  dengan nada tegas.

Warga juga mendesak agar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Mabes Polri segera membentuk tim investigasi khusus, memeriksa aliran uang, dan menangkap siapa dibalik semua aktifitas PETI di Ratatotok ini.

Penambangan emas ilegal (PETI) di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) adalah tindakan yang melanggar hukum. Meskipun HPT masih dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produksi, aktivitas pertambangan apa pun, termasuk emas, tidak boleh dilakukan tanpa izin yang sah.

Diketahui dampak dari aktifitas PETI tersebut yakni  Merusak lingkungan dan ekosistem hutan, menyebabkan pencemaran air oleh merkuri (Sianida) dan bahan kimia berbahaya lainnya, serta meningkatkan risiko bencana alam seperti longsor.

Menimbulkan kerugian negara. Aktivitas ini tidak memberikan kontribusi pendapatan bagi negara karena tidak ada pajak dan royalti yang dibayarkan dan Sering melibatkan oknum dan mafia tambang. Praktik PETI sulit diberantas karena adanya dugaan keterlibatan oknum dan mafia yang melindungi operasi mereka. (Tim)

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *