MANADO, Edisisatu.com, – Maraknya Gas LPG 3 Kg Subsidi yang menumpuk di kebanyakan warung atau kios warga dengan harga yang di patok dari penjual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), padahal Pemerintah sudah menetapkan HET di Rp18.000 (delapan belas ribu) pertabung.
Ada kecenderungan PT Pertamina enggan menertibkan warung penimbun LPG melon. Selain warung atau kios penumpukan ratusan tabung LPG juga tampak di rumah pribadi warga.
Padahal warga yang bukan agen atau pangkalan bukan pihak yang berhak menjual LPG subsidi. Kondisi ini yang memicu kelangkaan karena terjadi peralihan lokasi penjualan LPG kemudian harga dipatok sendiri oleh warga.
Ironisnya hingga kini tidak ada tindakan penertiban dan pengawasan baik dari PT Pertamina Niaga maupun dari pemerintah dan aparat penegak hukum. Kerapkali persoalan kelangkaan timbul, para agen dan pangkalan menjadi sasaran cemooh masyarakat.
Pengamat kebijakan publik Sulut Terry Umboh mengendus ada kemungkinan penimbunan ratusan tabung melon itu karena tindakan pangkalan yang memberi kesempatan kepada warga untuk meraup keuntungan berlipat. Bayangkan terdapat disparitas harga antara pangkalan dan warung sebesar Rp700 ribu. Jika dalam sebulan warung dapat menjual 1000 tabung LPG maka keuntungan yang diraih mencapai Rp7.000.000.
“Keuntungan Rp7 juta bukan berarti tanpa permainan. Masakan pangkalan membiarkan sesatu yang sangat masif si warung masyarakat. Ini perlu diselidiki ada apa antara pangkalan dan pertamina. Kok! bisa membiarkan warga yang tidak berhak menimbun ribuan tabung LPG di warung-warung bahkan di rumah pribadi,” ujar Trey Umboh.
Ia mengatakan, tindakan nekad pangkalan selama ini boleh jadi untuk menutupi beban operasional pangkalan yang terus meningkat karena dampak kenaikan harga BBM, UMP dan sembako. Sementara harga LPG masih bertahan sejak tahun 2015 silam Rp18 ribu per tabung.
“Jadi faktor utama pangkalan melakukan ini karena tidak pernah ada kenaikan margin pangkalan,” ujar Terry.
Menurut dia, cara untuk mengatasi pangkalan tidak melakukan praktek-praktek seperti ini adalah dengan cara melakukan penyesuain HET.
“Margin yang diberikan Pertamina ke pangkalan dan agen terlalu kecil. Tidak mampu mengcover beban operaaional. Itu analisis kita di lapangan. Makanya ada kecenderungan pangkalan melepas ke warung karena profit Rp 7000 per tabung. Itu sulit dibasmi karena naluri bisnis di lapangan begitu. Siapa yang menolak keuntungan Rp7 juta per 1000 tabung saat biaya operasional dari Pertamina terlalu kecil,” beber Tery.
Lanjut Umboh, perlu ada tindakan tegas untuk mengatasi kelangkaan LPG. Pertama, tegas menindak dan melarang pengecer dan warung watau warga lain menjual LPG jenis melon.
Kedua, melakukan penyesuaian HET agar pangkalan tidak melepas LPG ke warung yang mendapatkan keuntungan Rp7 ribu per tabung.
“Dua cara itu akan mampu mengatasi permasalahan elpiji di masyarakat,” tandas Tery Umboh.
(**)