MANADO, Edisisatu.com, – Persoalan akhir-akhir ini mengenai pemberitaan salah satu media di Sulawesi Utara yaitu Manado Post (MP) yang diduga mencantumkan narasumber tidak jelas mendapat tanggapan jurnalis yang dahulunya bekerja pada pada media tersebut.
Bahkan informasi terkini yang diperoleh pemberitaan Manado Post online tertanggal 9 Juni 2024, dengan judul “MANADO Peringkat Tiga Miskin Ekstrim se-Sulut, AA: Pemkot Punya Data” dua nama narasumber yang tadinya ikut bersuara pada berita tersebut yaitu, David Purukan MSi dan Fredrik Lolong SAB, sudah dihapus dan kini berita tersebut tinggal menyisakan satu narasumber yakni Febrianto Cris.
Alhasil dengan terjadinya perubahan pada berita awal makin menjadi pertanyaan besar di kalangan warga. “Ada apa Manado Post? kenapa tiba tiba berita tersebut berubah?,” tanya Donny Sumilat, warga Karombasan.
Rizal Layuck, eks wartawan Manado Post, memberikan tanggapan soal fenomena pemberitaan yang salah dan tanpa nara sumber kerap terjadi di Sulawesi Utara.
“Pers seolah sangat power full, menunjukkan diri mereka sangat kuat, tanpa kesalahan. Terjadi tirani pers, membungkam kebenaran, kondisi ini diperparah karena hampir semua orang takut berhadapan dengan pers,” kata Layuck yang merupakan seorang wartawan senior ini.
Fenomena tirani pers ini lanjut Layuck sudah berlangsung lama. Sehingga menurutnya, sudah saatnya idealisme media dikembalikan pada posisi semula.
“Fenomena tirani pers sudah berlangsung lama, bertujuan materi. Saatnya kita meluruskan idealis pers memberitakan kebenaran dengan mengacu prinsip pers berimbang. Wartawan itu bukan segalanya, dapat dipidana karena menyebarkan berita bohong” timpalnya.
Joppie Worek, wartawan senior Sulut turut menyuarakan masalah ini. Menurut Worek, penggunaan narasumber yang tidak jelas tergolong dalam pelanggaran kode etik berat.
“Kalau nama narasumber yang disebutkan adalah benar siluman atau tidak ada ini pelanggaran berat. Bukan cuma pelanggaran UU Pers dan kode etik profesi jurnalistik tetapi bisa juga dijerat pelanggaran pidana. Karena menggunakan nama orang yang kurang jelas itu merupakan pelanggaran yang sangat berat, ” jelas Worek.
Paul Adrian Sembel, pengamat pers dan mantan dosen jurnalistik turut bersuara dengan permasalahan ini. Menurut PAS panggilan akrabnya, berita Manado Post yang menyerang Pemerintah Kota Manado itu merupakan kejahatan pemberitaan.
“Berita MP yang ‘menyerang’ Pemkot Manado itu merupakan Kejahatan Pemberitaan. Pemberitaan ini masuk kategori berita buruk tentang Pemkot Manado karena tidak berimbang, bahkan cenderung menghakimi,” tukas Sembel.
Kata Sembel kembali, berita yang tidak terkonfirmasi melanggar kode etik jurnalistik.
“Berita yang tanpa konfirmasi tersebut, melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik, karena tidak berimbang, tidak uji konfirmasi, tidak akurat, dan memuat opini yang menghakimi,” selorohnya.
Menurut Sembel, perimbangan dalam memuat berita sangat diperlukan. Disamping mendukung asas kode etik jurnalistik, dan juga sebagai bahan tambahan informasi kepada masyarakat.
“Jika berita tidak cover both side (berimbang) karena tidak konfirmasi ke Pemkot Manado, hal itu selain melanggar Kode Etik Jurnalistik, pemberitaan ini juga tidak sesuai dengan butir 2 huruf a dan b, Peraturan Dewan Pers Nomor1/Peraturan-DP/III/2012 tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber terkait verifikasi dan keberimbangan berita, bahwa setiap berita harus melalui verifikasi, serta berita yang merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan,” kata Sembel. (*)